Rabu, 24 Juni 2009

HARGA MANUSIA

Alkisah bertutur,
tentang Sang Sufi sulit tersadur,
yang tak lelah tafakkur,
yang tak letih dzikir terlumur,
yang tak sudah khusyû'nya hudhûr...

Suatu hari Sang Sufi melangkah,
berpahatkan kasih dan dan raut cerah,
menebar sapa santun dan ramah,
saat seorang pejabat pongah,
berjalan angkuh berlawan arah.
Sang sufi yang tak jengah,
berlandas cinta tanpa merendah,
ingatkan si tuan tanah:
“jangan congkak di bumi Allah!”
Sang petinggi mendadak gerah,
wajahnya mengeras kaku dan merah,
gusar jelas meraut di wajah.
Ia pun menghardik marah:
“Hey, kamu orang rendah,
dengan siapa berhadapan, kamu sadarkah?”

Sang Sufi
senyum mengurai jawaban:
“Kau (dan kita) sungguh jelas, Kawan,
(sesuai '
âdah yang terjalankan):
Awal: sperma menjijikkan,
akhir: bangkai busuk tak terelakkan,
dan di antaranya: kelayapan,
membawa busuk jijik kotoran!

[Setiap kita,
yang cantik-tampan menawan mata,
ataukah yang merasa
buruk rupa;
yang kaya berlumur harta,
ataukah faqir, miskin dan papa;
yang berpangkat mahkota,
ataukah jelata tak kenal tahta:
Berawal dan berakhir sama,
dengan isi perut serupa!

Lalu apa harga nilai kita,
Selain IMAN hakiki di dada,
Dan ISLAM yang nyata menggelora?]

Rabu, 17 Juni 2009

Sang TUJUH...


Di
mahsyar kelak yaum al-qiyâmah:
Saat panas jejakkan gerah,
tujuh kelompok ternaungi tak resah,
kala tak ada naungan singgah,
selain
Naungan Allah...
(sesuai tutur sabda
Sayyid al-Ummah,
riwayat
Imâmayn Bukhâri-Muslim Shâhibayil Fadhilah)

Sang tujuh meraut cerah,
sang tujuh menadah anugerah,
sang tujuh menuai barokah,
sang tujuh berselimut hikmah,
dari
Sang Maha Pemberi Rahmah...

Pertama:
Pemimpin adil bijaksana,
menabur bijak pada proporsinya;
untuk
mashlahat ia menata,
untuk umat ia membuka mata.

Kedua:
Remaja berkembang mewangi muda,
pahatkan ibadah dalam tiap jejak tertera.
Sungguh ia tak lena,
dengan bius racun selaksa,
dalam untai kata mempesona:
"Mumpung masih muda, liarkan rasa!"

Ketiga:
Ia yang hatinya khusyuk terlena,
ia yang hatinya rindu menyala,
pada masjid sungguh tak lupa;
pada sholat konstan menyapa.

Keempat:
Sepasang insan berkasih lekat,
karena Allah cinta terpahat;
(tersebab Allah) mereka merapat jabat,
(atas Cinta-Nya pula) mereka melepas dekat.
Ini jelas bukan 'cinta' si kamuflase maksiyat,
ini jelas bukan 'cinta' yang menuai laknat!

Kelima:
Ia yang kokoh murnikan jiwa,
ia yang gagah menantang mara,
lalu lantang menolak birahi menggoda,
dari yang wajar di hasrati syahwat menggelora,
dengan kalimat ringkas memadat makna:
"aku hanya takut pada Allah semata!"

Keenam:
Ia yang suka bersedekah bersama kelam;
nikmat ia rasa saat berbagi
ni'am,
namun bersungguh ia hindari tenggelam,
dalam
riyâ'; pujian dan penglihatan anak cucu Adam.

Ketujuh:
Ia yang dalam hening, dzikirnya bergemuruh,
ia yang dalam senyap,
qolbunya tersentuh,
ia yang dalam sepi, taubatnya utuh,
sampai butiran air matanya pun, luruh...

Rabu, 10 Juni 2009

I D i H !


"
Wa Min Syarri Hâsidin idzâ Hasad"

I : Ingin atau sesungguhnya Iri?
D: Damba atau sesungguhnya Dengki?
i : -idem-
H: Harap atau sesungguhnya Hasûd?

al-Imâm an-Nawawi,
mengutip
dedawuh al-Imâm al-Ghazâli,
(semoga
rahmah dan ridlâ-Nya menyertai)
membagi
I.D.i.H dalam setiap diri,
menjadi tiga terpatri:

Pertama
:
Terasa, teraba, terkira,
dan terlihat mata:
ada nikmat dan bahagia,
ada suka dan ria,
di diri sesama...

Lalu terbitlah "
I" di hati:
"ku
Ingin nikmat itu berhenti dan pergi,
lalu beralih ke diri ini..."

Kedua:
Terasa, teraba, terkira,
dan terlihat mata:
ada nikmat dan bahagia,
ada suka dan ria,
di diri sesama...

Lalu muncullah "D" di jiwa:
"ku
Damba nikmat itu senyap dan bermaya,
walau diri tak miliki yang sama..."

Ketiga:
Terasa, teraba, terkira,
dan terlihat mata:
ada nikmat dan bahagia,
ada suka dan ria,
di diri sesama...


Lalu muncullah "
H" dalam kalbu:
"biarlah nikmat itu tetap di situ,
Harapku, asal ia tak ungguli aku!"

Kamis, 04 Juni 2009

KEPASTIAN YANG TAK PASTI

Wa bil qadari khairihî wa syarrihî minaLlâhi Ta'âlâ...

Jikalau takdir hanyalah kelamin,
yang sebatas pada janin,
sungguh konslet yang semakin!

Jikalau usaha meyakinkan sukses,
maka gagal mencetak stres,
lalu qon
â'ah pun tak lagi beres!

Jikalau untung dan rugi,
dicongkaki sebagai perolehan diri,
silahkan mengatur mati!

Sesungguhnya,
bahwa sukses buah dari upaya,
hanyalah berlandas
'âdah-Nya saja,
yang membenak di kita,
InnaLlâha qad ajrâ 'âdataHû kadzâ...!

...yakni PASTI berdasar zaman m
âdli.
...yakni PASTI berdasar memori.
...yakni PASTI berdasar ingatan diri.

Bukan PASTI berlatar depan!
Bukan PASTI bak pengatur zaman!
Bukan PASTI bak penentu peran!
Bukan PASTI bak pemilik ‘tangan’!
Bukan PASTI bak tau betul maunya Tuhan!

Jika itu yang rasa desahkan,
jika itu yang gelap jelaskan,
jika itu yang bodoh diktekan,
Jika itu yang takabur belaikan,
segeralah mohon tercerahkan....

Namun upaya tetaplah mesti,
wajib tak boleh dihindari,
karena kita tak tahu pasti,
apa bagian setiap diri.
Dimudah/sulitkan-Nya jalan menuju asa hati,
adalah komponen takdir itu sendiri.
Dengan ini iman diuji...

Semogalah hasrat yang berpendar,
adalah fajar yang cepat sinar,
adalah faham yang segera wajar...